Para filsuf telah berusaha untuk memberikan definisi kepada manusia sebagai “hewan yang berbicara”. Pandai berbicara bukan hanya sekedar mengucapkan kata-kata menurut penelitian para ahli, sebagian hewan juga berbicara dengan bahasa mereka dan memiliki akal dalam kadar yang sangat rendah. Berbicaranya manusia adalah dengan pembicaraan yang telah diolah oleh pikiran yang jemih. Sehingga hanya manusia yang menjadi pelaku peradaban.
Tatkala perilaku dan berbicara manusia itu tidak lagi mempergunakan akal pikiran, sehingga berjalan tidak lagi berdasarkan petunjuk wahyu Allah SWT, maka kemanusiaan manusia waktu itu gugur dan ia kembali sebagai makhluk yang kedudukannya adalah dapat disamakan dengan hewan; memiliki anggota tubuh yang membutuhkan makan dan minum, dan memiliki hasrat untuk melampiaskan nafsunya, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Firman Allah : “Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang temak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yanglalai “. (QS. Al-A’raf: 179).
Manusia ditinjau dari asli katanya berasal dari bahasa Arab yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaial-basyar, an-naas dan al-ins atau al-insan. Namun, jika ditinjau dari segi bahasa serta penjelasan Al-Qur’an sendiri, pengertian ketiga kata tersebut saling berbeda.
Manusia sebagai Al-Basyar
Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Manusia dalam pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 35 kali. Dari pengertian-pengertian tersebut:
- 25 kali diantaranya berbicara tentang “kemanusiaan” para rasul dan nabi,
- 13 ayat di antaranya menggambarkan polemik para rasul dan nabi dengan orang-orang kafir yang isinya keengganan mereka terhadap apa yang dibawa oleh para nabi dan rasul, sebab menurut mereka nabi dan rasul adalah manusia biasa seperti mereka.
Allah berfirman: “Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengamya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka : ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, Maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?’ ” (QS. Al-Anbiya: 2-3)
Dan memang benar bahwa realitanya, rasul adalah manusia biasa dengan sifat-sifat kemateriannya. Yang membedakan adalah mereka diberi wahyu oleh Allah untuk disampaikan kepada ummat-nya. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa’ ” (QS. Al-Kahfi : 110).
Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku ada-lah seorang manusia seperti kamu juga. Kamu datang untuk berper-kara; barangkali sebagian kamu lebih pandai mengemukakan alat bukti dari sebagian yang lain, lalu kami putuskan perkara tersebut se-suai dengan keterangan yang saya terima” (HR. Bukhari-Muslim)
Manusia sebagai An-Nas
Manusia dalam Al-Qur’an juga disebut an-nas. Kata an-nas dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 240 kali dengan keterangan yang jelas menunjuk kepada jenis keturunan nabi Adam.
Firman Allah: ” Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal “. (QS. Al-Hujarat; 13)
Manusia sebagai Al-Insan
Kata al-ins atau al-insan disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali, kata al-ins senantiasa dipertentangkan dengan al-jinn (jin), yakni sejenis makhluk halus yang tidak bersifat materi yang hidup diluar alam manusia, dan tidak tunduk kepada hukum alam kehidupan manusia sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an sebagai makhluk diciptakan dari api. Makhluk yang membangkang tatkala diperintahkan untuk bersujud kepada Adam.
Kata al-insan bukan berarti basyar dan bukan juga dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Al-Qur’an, mengandung pengertian makhluk mukallaf (yang dibebani tanggung jawab) mengemban amanah Allah untuk menjadi khalifah dalam rangka memakmurkan bumi. Al-insan sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Alaq adalah mengandung pengertian sebagai makhluk yang diciptakan dari segumpal darah, makhluk yang mulia sebab memiliki ilmu, dan makhluk yang melampaui batas karena telah merasa puas dengan apa yang ia miliki.
Dalam beberapa surat lain dalam Al-Qur’an, manusia digambarkan sebagai:
- makhuk yang suka membantah (QS. An-Nahl’ : 4),
- makhluk yang lemah dan hina (QS. A-Nisa’ : 28),
- makhluk yang mudah dipengaruhi oelh sesuatu sehingga lupa kepada Tuhannya (QS. Al-Infithar: 6-8),
- makhuk yang melampaui batas dan melupakan penciptanya (QS. Al-lsra’ : 67).
- Namun disamping itu, sebagaimana disebutkan diatas bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk memakmurkan bumi, meskipun pernyataan Allah tersebut mendapatkan sanggahan dari para malaikat yang mengatakan bahwa manusia adalah makhuk yang akan banyak menumpahkan darah dan membuat kerusakan dimuka bumi.
Allah SWT telah memberikan keistimewaan kepada manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain, sebagaimana Allah SWT telah menciptakan Adam dari tanah liat, yang kemudian di-tiupkan ruh kepadanya, lantas Allah memberikan kemampuan untuk berbicara (al-bayan) yang menggugah hati dan perasaan, sehingga manusia dalam arti basyar berubah menjadi manusia yang berarti insan yang sanggup menerima Al-Qur’an sebagai petunjuk. Yang semuanya itu mengandung resiko dengan adanya ujian-ujian yang akan menimpanya, baik itu bersifat positif atau negatif.
Amanah dan tanggung jawab Manusia
Dari segi tanggung jawab dan amanah yang dipikulkan kepada manusia diatas bumi ini, maka manusia bisa lebih tinggi nilainya dari malaikat, jika ia memang benar-benar bertanggung jawab atas amanat tersebut.
Manusia memiliki resiko baik dan buruk, sedangkan malaikat hanya makhluk yang tidak mempunyai resiko apapun sebab tidak memiliki nafsu. Selanjutnya manusia yang bertanggung jawab dan menunaikan amanah ini adalah manusia yang mempunyai sifat-sifat yang sempurna, seperti rahmah, mulia, beramal saleh, berkehendak, berlaku adil dan masih banyak sifat yang lain yang dituntut kepada manusia untuk mengikutinya sesuai dengan kemampuannya.
Tatkala tanggung jawab dan amanah itu dijalankan dengan baik manusia dikatakan sebagai ahsani taqwim (sebaik-baik ciptaan). Hal ini hanya dapat dicapai melalui iman dan amal yang saleh. Iman berarti mempercayai apa yang datang dari Allah SWT dan yang disampaikan Rasulullah SAW sekaligus melaksanakannya.
Artinya, dengan unsur dengan unsur tanggung jawab sebagai makhluk yang berfikiran dan dengan alat al-bayan yang dimilikinya ia harus melaksanakan apa yang didatangkan Allah SWT melalui para utusan-Nya. Kemudian amanah yang dititipkannya diperlihara dengan baik untuk dipertanggung jawabkan kepada pemberi amanah tersebut.
Sebaliknya tatkala ia tidak bisa berlaku amanah, dengan mengikuti hawa nafsunya, melakukan penipuan terhadap Allah dan sesama manusia, merasa diri berkecukupan, merasa diri punya kekuasaan mutlak dan memiliki sifat-sifat tercela lainnya. Disinilah poin kejatuhan manusia menjadiasfala safilin (tingkatan yang paling rendah).
Firman Allah : “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-nendahnya (neraka) “. (QS. At-Tin : 4-5).
Untuk terlaksananya tugas tersebut diatas, disamping mempunyai akal dan kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, maka ia juga diberi kemerdekaan memilih sikap dalam melaksanakan tugasnya di muka bumi. Kemerdekaan memilih ini menyangkut segala yang berbentuk perbuatan dan keyakinan seseorang berbuat, berfikir, berpendapat, dan berakidah, yang tentunya kemerdekaan tersebut tidak melampaui batas dan ketentuan Allah SWT.
Sumber : At-Takwin, Edisi 17 Tahun I – Desember 2006
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment